Mempertegas Peran Madrasah Sebagai Pelopor Gerakan Indonesia yang Berkarakter

Mempertegas Peran Madrasah Sebagai Pelopor Gerakan Indonesia yang Berkarakter

Oleh: Aris Adi Leksono*

Kegelisahan masyarakat Indonesia mengenai kondisi bangsa dan negara dewasa ini merupakan suatu hal yang harus dimaknai positif, terutama oleh para pengambil kebijakan. Kegelisahan seperti sekarang ini pernah dirasakan sebelumnya, saat menjelang terjadinya Arus Reformasi kita merasa sangat gelisah. Dan sebelum terjadinya Tragedi 1965 kita juga merasakan adanya suatu kegelisahan yang sangat mencekam. Di masa-masa lampau kita dapat keluar dari setiap krisis yang terdapat dibalik kegelisahan yang kita alami. Pertanyaannya, apakah kita juga akan keluar dengan selamat dari krisis yang akan menyusul kegelisahan kita sekarang ini, terutama terkait memudarnya karakter berbangsa dan bernegara?

Bagaimana Wajah “Indonesia yang Berkarakter”?
Ini merupakan suatu pertanyaan yang mau-tidak-mau harus kita jawab dengan baik. Maksud saya: kita harus menemukan suatu konsensus mengenai soal ini, bagaimana pun longgarnya konsensus itu pada taraf awal. Konsensus ini harus kita capai melalui suatu dialog kultural. Artinya, kita harus belajar melakukan dialog antara kita mengenai ciri-ciri kultural dari masyarakat Indonesia yang akan kita pandang bersama sebagai “Indonesia Yang Berkarakter.”

Ada dua kesukaran besar yang kita hadapi dalam hal ini.Pertama, kita lebih senang melakukan perdebatan daripada dialog. Memang perdebatan adalah suatu bentuk dialog, tetapi perdebatan-perdebatan yang kita lakukan lebih sering berupa “monolog kolektif” daripada dialog dalam arti yang sebenarnya. Dalam dialog yang benar terdapat usaha untuk saling mendengarkan dan saling memahami, pada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam “monolog kolektif” yang terjadi ialah bahwa dua pihak atau lebih sama-sama berbicara, tetapi tidak saling mendengarkan. Hasilnya ialah bahwa pihak-pihak yang terlibat tidak saling memahami. Dan akhirnya tidak tercapai kesepekatan yang lahir dari pengertian timbal-balik (mutual understanding) dan penerimaan pandangan yang bersifat timbal-balik pula. Yang muncul dari perdebaran politik seperti ini ialah perhitungan suara mengenai penerimaan atau penolakan terhadap pandangan-pandangan yang muncul dalam perdebatan. Ini lalu kita sebut “konsensus”. Benarkah persetujuan seperti ini merupakan suatu “konsensus”? Artinya, kalau kesepakatan seperti ini hendak disebut juga sebagai konsensus, maka ini meruapakan suatu konsensus yang dangkal, konsensus yang dipaksakan. Konsensus yang benar, yang genuine, selalu ditandai oleh adanya “consent”.

Kesukaran kedua ialah karena masyarakat lebih terbiasa mendiskusikan perbedaan pandangan pada tataran politik, tidak pada tataran kultural. Pada tataran politik  berpikir tentang format, sedangkan pada tataran kultural berpikir tentang nilai. Membahas perbedaan pandangan pada tataran kultural membutunkan jangka waktu yang jauh lebih panjang daripada membahasnya pada tataran kultural. Idealnya perdebatan politik dilandasi oleh pandangan yang telah digodok dalam diskusi secara kultural, sehingga perdebatan yang timbul tidak menjadi polemik di masyarakat.  
     
Jadi, kalau ingin keluar dari transisi demokrasi ini, dan merintis jalan menuju “Indonesia Berkarakter”, suka atau tidak masyarakat, terutama para elite harus belajar melakukan dialog kultural. Sembari memupuk kemampuan masyarakat untuk melakukan dialog kultural. Kita harus mengajak masyarakat untuk belajar saling mendengarkan, saling memahami, dan membahas nilai-nilai yang mendasari pilihan atau preferensi kita. Ini suatu proses yang memerlukan pendidikan mendasar, bukan pendidikan yang bersifat instan, atau “pendidikan dadakan” dalam Bahasa Jawa.
    
Belajar dari Pengalaman
Sejarah mencatat bangsa ini telah mengalami beberapa kali kegagalan untuk membentuk Indonesia yang baik, bangsa yang berkarakter karena tidak adanya dialog kultural yang tuntas, hanya pada tataran eksekutif bangsa, sebagai landasan dari keputusan politik yang  diambil untuk keteraturan secara nasional. Dalam hal ini terdapat tiga pengalaman yang dapat diambil pelajaran untuk membangun karakter Bangsa yang lebih baik, pertama; soal negara federal versus negara Kesatuan, kedua; soal negara Islam lawan negara sekuler, dan ketiga soal Tujuan Pendidikan Nasional, termasuk akhir-akhir ini banyak yang membicarakan tentang pendidikan karakter. Artinya jika issu pendidikan karakter ini ingin benar-benar menjadi konsensus bangsa, maka perlu adanya dialog kultural seluruh elemen bangsa secara tuntas.

Pengalaman pertama, persoalannya ialah apakah Indonesia setelah mencapai kemerdekaan sebaiknya mengadopsi bentuk negara federal atau negara kesatuan. Dalam kasus ini pandangan almarhum Bung Hatta bertentangan dengan pandangan almarhum Bung Karno. Ini sebetulnya merupakan permulaan dari usaha membangun kemampuan bangsa untuk melakukan dialog kultural. Masing-masing pihak mengemukakan segi positif dari sistem yang didukungnya. Sungguh sayang, bahwa dialog kultural ini tidak berlangsung sampai tuntas, karena Bung Karno kehilangan kesabaran berdialog, dan kemudian mempergunakan ketrampilannya dalam ber-retorika politik untuk menyapu bersih arguman Bung Hatta. Memang pada akhirnya mengadopsi bentuk negara kesatuan, tetapi perkembangan-perkembangan yang terjadi selanjutnya memperlihatkan kelemahan yang terdapat dalam sistem negara kesatuan ini. Diantaranya setelah dilaksanakannya sistem otonomi daerah secara cukup luas, timbul pertanyaan, apa sebenarnya perbedaan hakiki dari sistem negera kesatuan berotonomi daerah secara luas dengan sistem negara federal.

Pada pengalaman kedua, negara Islam versus negara sekuler, Bung Karno mengambil keputusan negara berdsarkan Pancasila. Keputusan ini ditaati, dan tetap berlaku sampai sekarang.Tetapi yang apa yang terjadi di masyarakat, tetap ada gejolah-gejolak halus yang mengisyaratkan adanya ketidakrelaan, bahwa negara dengan penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam tidak melaksanakan syariat Islam secara tegas. Bisa dilahat antara lain prakarsa untuk menciptakan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang akan membuat suasana Islami lebih terasa dalam masyarakat Indonesia. Lagi-lagi ketidaktuntasan dialog kultural membuat polemik di masyarakat. Masyarakat langsung diajak terjun dalam perdebatan politik dengan prasangka masing-masing tentang negara Islam, negara sekuler, masyarakat Islam, dan masyarakat sekuler. 

Pengalaman ketiga –kasus tentang tujuan pendidikan nasional—persoalan intinya ialah apakah pendidikan di sekolah Indonesia harus mengutamakan pendidikan menuju ke “keimanan dan ketakwaan”, ataukah sebaiknya mengutamakan pendidikan menuju ke “kemampuan mengenali, memahami, dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa”. Artinya: Apakah tujuan pendidikan nasional sebaiknya dirumuskan dengan idiom ke-Islaman, ataukah dengan idion sekuler. Soal ini sebenarnya dapat di-dialog-kan secara kultural. Tetapi kita memilih untuk memperdebatkannya secara politik. Dan pada akhir perdebatan kita memilih rumusan yang bernuansa Islam, dan kita katakan, bahwa pendidikan nasional Indonesia mengutamakan pendidikan yang menuju ke keimanan dan ketakwaan, sehingga, menafikan karakter bangsa sesunggunya. 

Persoalannya di sini, bukan hasil votingnya dari dialog politik tersebut, melainkan proses yang kita lalui sampai terjadinya voting. Bagimana yang terjadi adalah tipisnya keinginan dan sedikitnya kesempatan untuk mengkaji aspek-aspek kutural dari perdebatan ini. Perlu diingat pada pengalaman ini, fokus permasalahan bukan pada perbedaan hakiki antara “pendidikan dengan orientasi religieus” dengan “orientasi sekuler”. Ketika ditanya, misalnya, apakah ‘takwa’ sebagai konsep pedagogis sama dengan konsep “voluntary personal commitment to values”, maka tidak didapatkan jawaban yang memuaskan. Artinya yang paling penting bukan sekedar perbedaan antara “pendidikan religius” dengan “pendidikan sekuler”, melainkan konsekuensi dari pilihan yang dipilih. Kalau kemudian diputuskan untuk mengutamakan pendidikan yang menuju ke “keimanan dan ketakwaan”, bagaimana nantinya metode yang harus kita tempuh untuk melaksanakan pendidikan menuju yang bernuansa religus ini, dan bagaimanakan cara meng-evaluasi keberhasilan dalam pendidikan keimanan dan ketakwaan ini. 

Berdasarkan pengalaman di atas, bahwa suatu persoalan bangsa yang diselesaikan hanya berdasarkan suatu keputusan politik yang tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap  aspek-aspek kultural yang melekat pada persoalan tadi akan cepat kehilangan daya solutifnya. Dalam keadaan yang paling ideal pun penyelesaian seperti ini hanya akan merupakan suatu penyelesaian sementara, dan akan segera harus ditinjau kembali untuk mencegah munculnya manifestasi baru dalam bentuk yang tidak mudah terdeteksi. Jadi mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus memahami landasan kultural dari suatu persoalan bangsa untuk dapat “menjinakkannya”, sehingga keputusan yang diambil adalah bagian dari upaya memperkuat karakter bangsa. di sinilah optimalisasi peran madarasah dalam mencetak kader bangsa yang memiliki wawasan kultur yang dibingkai dalam ke-khasan spiritualitasnya.
 
Pada fase berikutnya, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana optimalisasi peran media dalam turut “mendewasakan dan menyadarkan” masyarakat akan pentingnya karakter bangsa. Media mepuyai kewjiban moral untuk menuntun masyarakat ke perilaku kolektif yang lebih dewasa, lebih bertanggungjawab dalam menghadapi situasi-situasi yang rawan. Pada akhirnya media harus menentukan bagi dirinya sendiri, sampai di mana dirinya akan melibatkan diri dalam gerakan untuk membangun Indonesia yang lebih baik, mandiri, dan berkarakter. Madrasahku... Mediaku.. & Masa Depan Bangsaku...

* Peneliti Muda LP3M STAINU Jakarta
Perbedaan Guru yang Pintar dan Guru yang Bodoh

Perbedaan Guru yang Pintar dan Guru yang Bodoh


Beda ‘guru yang pintar’ dan ‘guru yang bodoh’
1.      Terlalu Banyak Ide – “guru yang pintar” biasanya banyak ide, bahkan mungkin telalu banyak ide, sehingga tidak satupun yang menjadi kenyataan di kelasnya. Sedangkan “guru yang bodoh” mungkin hanya punya satu ide dan satu itulah yang menjadi pilihan dalam usahanya membelajarkan siswa dengan cara yang menyenangkan sambil tetap mencari metode yang lain untuk diterapkan.
2.      Miskin Keberanian untuk berubah memulai metode yang baru – “guru yang bodoh” biasanya lebih berani dibanding ”guru yang pintar”, kenapa ? Karena “guru yang bodoh” sering tidak berpikir panjang atau banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, “guru yang pintar” terlalu banyak pertimbangan.
3.      Terlalu Pandai Menganalisis – Sebagian besar “guru yang pintar” sangat pintar menganalisis. Setiap satu ide pembelajaran, dianalisis dengan sangat lengkap, mulai dari teori, caranya sampai pengaruhnya dikelas . “guru yang bodoh” tidak pandai menganalisis, sehingga lebih cepat memulai dan menerapkan sebuah hal yang baru di kelas.
4.    Ingin Cepat Sukses – “guru yang pintar” merasa mampu melakukan berbagai hal dengan kepintarannya termasuk mendapatkan hasil pembelajaran yang sukses. Sebaliknya, “guru yang bodoh” merasa dia harus melalui jalan panjang dan berliku sebelum mendapatkan hasil.
5.      Tidak Berani Mimpi Besar – “guru yang pintar” berlogika sehingga bermimpi sesuatu yang secara logika bisa di capai. “guru yang bodoh” tidak perduli dengan logika, yang penting dia bermimpi sesuatu, sangat besar, bahkan sesuatu yang tidak mungkin dicapai menurut lain.
6.      Berpikir Negatif Sebelum Memulai – “guru yang pintar” yang hebat dalam analisis, sangat mungkin berpikir negatif tentang sebuah gaya atau hal baru dalam hal pembelajaran, karena informasi yang berhasil dikumpulkannya sangat banyak. Sedangkan “guru yang bodoh” tidak sempat berpikir negatif karena harus segera memberikan yang terbaik bagi siswanya.
7.      Maunya Dikerjakan Sendiri – “guru yang pintar” berpikir “aku pasti bisa mengerjakan semuanya”, sedangkan “guru yang bodoh” menganggap dirinya punya banyak keterbatasan, sehingga harus bekerja sama dan di bantu elemen lain di sekolah. Misalnya orang tua sesame guru dan kepala sekolah.
8.      Tidak Fokus – “guru yang pintar” sering menganggap remeh kata Fokus. Buat dia, melakukan banyak hal lebih mengasyikkan. Sementara “guru yang bodoh” tidak punya kegiatan lain kecuali fokus pada pembelajaran di kelas dan pengembangan profesinya.
9.      Tidak Peduli Konsumen – “guru yang pintar” sering terlalu pede dengan kehebatannya. Dia merasa semuanya sudah oke berkat kepintarannya sehingga mengabaikan suara konsumen (orang tua siswa, siswa dan kepala sekolah). “guru yang bodoh” ?. Dia tahu konsumen seringkali lebih pintar darinya.
10.  Abaikan Kualitas – “guru yang bodoh” kadang-kadang saja mengabaikan kualitas karena memang tidak tahu, maka tinggal diberi tahu (oleh orang tua siswa atau kepala sekolah) bahwa mengabaikan kualitas keliru. Sedangkan “guru yang pintar” sering mengabaikan kualitas, karena sok tahu.
11.  Tidak Tuntas – “guru yang pintar” dengan mudah beralih dari kegiatan mengajar, karena menjadi guru hanya batu loncatan saja atau daripada tidak ada kerjaan yang lain. Hal ini dikarenakan punya banyak kemampuan dan peluang. “guru yang bodoh” mau tidak mau harus menuntaskan dan berkonsentrasi pada pembelajaran dan pilihan profesinya saja sebagai guru.
12.  Tidak Tahu Prioritas – “guru yang pintar” sering sok tahu dengan mengerjakan dan memutuskan banyak hal dalam waktu sekaligus, sehingga prioritas terabaikan. “guru yang bodoh” ? Yang paling mengancam kualitas pembelajaran dikelasnya lah yang akan dijadikan prioritas.
13.  Kurang Kerja Keras dan Kerja Cerdas – Banyak “guru yang bodoh” yang hanya mengandalkan semangat dan kerja keras plus sedikit kerja cerdas, menjadikannya sukses dalam berkarier sebagai pendidik. Dilain sisi kebanyakan “guru yang pintar” malas untuk berkerja keras dan sok cerdas,
14.  Tidak punya kecerdasan finansial – Sebagai  “guru yang pintar” sekalipun tetap berperilaku bodoh dengan mencampuradukan keuangan pribadi dan keuangan untuk pengembangan profesi. Salah satu tandanya adalah uang tunjangan sertifikasi digunakan untuk membeli barang secara konsumtif, dan bukan dipakai untuk hal yang berhubungan dengan pengembangan profesi, seperti mengikuti workshop/seminar pendidikan , berlangganan internet atau membeli buku.
15.   Mudah Menyerah – “guru yang pintar” merasa gengsi ketika gagal di satu bidang sehingga langsung beralih ke bidang lain, ketika menghadapi hambatan. “guru yang bodoh” seringkali tidak punya pilihan kecuali mengalahkan hambatan tersebut di kelasnya.
 
Tips Sukses Menjadi Guru ala Gisele Glosser

Tips Sukses Menjadi Guru ala Gisele Glosser

Sumber: Gisele Glosser.Tips for New Math Teachers
1.              Berpikir kritis dan usaha yang jujur lebih penting daripada jawaban yang benar. Cobalah untuk tidak mengerutkan kening ketika siswa memberikan jawaban yang salah atau keliru. Mengerutkan kening seringkali ditafsirkan sebagai bahasa isyarat  penolakan yang dapat menghambat siswa untuk berpartisipasi dalam mengekspresikan pemikirannya.  .
2.              Tidak ada pengajaran tanpa pengendalian. Lebih baik Anda bersusah payah pada hari-hari awal masuk sekolah untuk menemukan cara-cara terbaik dalam mengelola kelas dan mendisiplinkan siswa,  daripada Anda harus melakukan perjuangan berat sepanjang semester karena Anda tidak berhasil menemukan cara yang paling efektif dalam pengelolaan kelas.
3.              Kadang-kadang hal terbaik untuk dilakukan adalah berhenti berbicara. Jika terjadi kebisingan di kelas, Anda tidak perlu berteriak-teriak meminta para siswa agar  berhenti gaduh. Cobalah Anda berdiri di depan kelas dengan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kemudian tataplah mereka (khususnya siswa yang menjadi sumber keributan) dengan tetap tanpa menunjukkan  ekspresi  marah.
4.              Cobalah lakukan kegiatan yang bervariasi dari waktu ke waktu. Dalam proses pembelajaran rutinitas dan terstruktur memang hal yang baik, tapi apabila hal ini terlalu banyak dilakukan dapat menyebabkan Anda dan kelas Anda jatuh terjerembab ke dalam suatu kebiasaan yang membosankan.
5.              Mendorong siswa untuk bepartisipasi aktif. Berikan kesempatan kepada setiap siswa untuk tampil di depan kelas atau mempersilahkan mereka untuk bekerja dalam kelompok. Sedapat mungkin hindari pembelajaran yang  berpusat pada guru untuk sepanjang tahun.
6.              Cobalah untuk bersikap fleksibel. Misalnya, pada saat berlangsung proses pembelajaran di kelas, Anda punya aturan ketat terhadap siswa tentang permen karet. Tetapi mungkin Anda  dapat memejamkan mata untuk hal ini  ketika siswa sedang menghadapi ujian.
7.              Cobalah uraikan secara jelas topik-topik apa yang akan diujikan. Anda tidak hanya cukup dengan mengatakan dan menyuruh siswa “Minggu depan ulangan, silahkan Pelajari Bab 6!”. Perintah dan penugasan semacam ini akan dirasakan membingungkan, terutama bagi para siswa yang kurang memiliki keterampilan belajar.
8.              Meminta dukungan manajemen. Adalah penting untuk mendapatkan dukungan dari manajemen ketika Anda berhadapan dengan isu-isu sulit, terkait dengan proses pembelajaran yang  Anda lakukan. Misalnya, meminta dukungan untuk mengadakan konferensi dengan para orang tua siswa yang  mengalami kesulitan dalam belajar.
9.              Berikan siswa kesempatan untuk mengikuti ujian. Jika seorang siswa selalu hadir dalam setiap pertemuan di kelas, namun karena satu dan lain hal dia tidak bisa hadir pada hari ujian, Anda seyogyanya dapat  memberikan kesempatan kepadanya untuk mengikuti ujian susulan dan  jangan membiarkannya lebih dari satu atau dua hari.
10.       Gunakan teknik “Front Loading.  Para siswa cenderung lebih  termotivasi untuk belajar pada awal masuk sekolah. Pada awal masuk sekolah, selain diajak meninjau kembali materi pada semester sebelumnya,  secara garis besarnya siswa juga diajak untuk mengenal topik-topik  yang  hendak dipelajarinya selama satu semester ke depan
11.       Ajarkan para siswa untuk memiliki keterampilan memecahkan masalah. Ketika siswa Anda memasuki dunia kerja atau terjun ke masyarakat, sudah pasti dia  akan banyak berhadapan dengan berbagai masalah yang harus dia selesaikan dengan baik. Melalui pembelajaran yang Anda lakukan diharapkan para siswa akan terbiasa  dan terampil  dalam memecahkan aneka masalah yang dihadapinya..
12.       Berikan penghargaan atas setiap hasil dan usaha belajar mereka. Penghargaan yang Anda berikan akan memberikan motivasi kepada para siswa untuk mengerjakan sesuatu lebih baik lagi
13.       Lakukanlah yang terbaik dari diri Anda dan  bersikap adillah  kepada seluruh siswa, maka Anda akan mendapatkan rasa hormat dari mereka. Krisis kepercayaan kepada guru  seringkali bersumber dari ketidaksanggupan untuk menampilkan yang terbaik kepada siswanya.
 14.       Motivator terbaik adalah menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata. Jangan lepaskan pembelajaran dari dunia nyata siswa, belajarkanlah mereka hal-hal yang berhubungan dan menyentuh langsung kehidupan mereka  Misalkan guru Matematika ketika sedang membelajarkan tentang sistem metrik, mintalah kepada siswa membawa kertas karton kosong dan botol-botol dari dapur mereka,  untuk dijadikan sebagai media pembelajaran.
15.       Di sekolah-sekolah tertentu, adakalanya siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan (kelas unggulan). Hal ini membuat mereka lebih menonjol dibandingkan peserta lainnya. Di satu sisi, cara ini dapat memberikan  kemudahan bagi guru untuk memberikan pelayanan pembelajaran secara homogen, namun di sisi lain juga dapat menimbulkan kecemburuan sosial.

AL-MUQADDASI, Geografer Muslim Fenomenal dari Yerusalem

”Hierosolomite”. Begitulah peradaban Barat kerap menyebut Al- Muqaddasi geografer Muslim terkemuka pada abad ke-10 M ini. Ilmuwan asal Al-Quds (Yerusalem) ini merupakan salah seorang penulis tentang masyarakat Islam terhebat di dunia. Sejarah mengabadikannya sebagai geografer andal yang telah melahirkan sebuah karya geografi monumental.

Buah karya sang geografer yang paling populer adalah kitab Ahsan at-Taqasim fi Ma’arifat Al-Aqalim. Dalam kitab itu, Al- Muqaddasi mengupas secara lugas dan jelas seluk-beluk pengetahuan tentang pembagian wilayah. Kitab yang ditulisnya pada 985 M itu sungguh sangat mengagumkan. “Tak ada satu pun kajian geografi modern yang terlewatkan oleh Al-Muqaddasi,” cetus ilmuwan Barat, JH Kramers.

Tak salah pula jika sejarawan asal Prancis mendaulat Al-Muqaddasi sebagai ‘pencipta ilmu geografi yang total’. Sejarah juga mencatat Al-Muqaddasi sebagai geografer perintis yang mampu melukiskan secara detail tempat-tempat yang pernah disinggahinya. Ia tak cuma menggambarkan kondisi geografis sebuah wilayah, namun mencapai berbagai aspek dalam kehidupan manusia.

Dalam karyanya yang amat monumental —Ahsan at-Taqasim fi Ma’rifat al- Aqalim—Al-Muqaddasi pun memberikan gambaran tentang jumlah penduduk, adat istiadat, aktivitas perdagangan, mata uang, kelompok sosial, monumen-monumen arkeologi, alat ukur atau timbangan, hingga pada kondisi politik sebuah masyarakat. Itulah yang membuat peradaban Barat berdecak kagum atas kecerdasan seorang Al-Muqaddasi.

Buah pikir yang ditulisnya pada akhir abad ke-10 M itu masih tetap menjadi perbincangan menarik di kalang geografer Barat abad ke-19 M. Adikaryanya dibawa ke Eropa oleh orientalis berkebangsaan Jerman, Aloys Sprenger. Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim dinilai sejarawan dan geografer Barat sebagai sebuah karya yang sungguh sangat menakjubkan.

Tak tanggung-tanggung, kehebatan karya Al-Muqaddasi telah diklaim sebagai yang terhebat sepanjang zaman—tak ada yang mampu menandinginya. Ia telah memberi begitu banyak insiprasi bagi para geografer modern. Metode-metode yang dikembangkannya hingga kini masih tetap digunakan. Salah satunya mengenai pemakaian peta yang terbukti sangat berguna dalam kehidupan modern.

Pendekatan ilmiah yang digunakan Al- Muqaddasi dalam menulis karya geografi sangat berbeda dengan ilmuwan sebelumnya. Bagi dia, geografi tak hanya terkungkung dalam batasan letak geografis. Secara memukau, ia mampu menyuguhkan penjelasan mengenai dasar-dasar dan fungsi masyarakat Islam dari sebuah wilayah yang pernah dikunjunginya.

Kemampuan sebuah komunitas untuk mengatasi berbagai hambatan alam juga menjadi hal yang menarik perhatiannya. Secara tak terduga, penjelasan tentang masalah ini telah memberi inspirasi bagi masyarakat lain yang membacanya. Dengan membaca tulisannya yang detail dan terperinci, masyarakat lain akan terlecut semangatnya untuk melahirkan sebuah penemuan.

Dalam bukunya yang monumental, Al- Muqaddasi misalnya menggambarkan secara detail tentang pengelolaan air dan teknologi hidrolik. Teknologi itu sudah digunakan masyarakat Mesir di abad ke-10 M untuk mengelola air dan menjamin berjalannya sistem pertanian. Selain itu, masalah fiskal, keuangan, mata uang, serta fluktuasi yang terjadi di dalamnya juga menjadi perhatian Al-Muqaddasi.

Ia menceritakan, semua provinsi di wilayah Irak hingga perbatasan Damaskus sudah menggunakan mata uang dinar dan dirham. Masyarakat Muslim di wilayah itu juga mengenal istilah rub yang bernilai seperempat dinar dan qirat bernilai setengah dirham. Terdapat pula khurnaba yang bernilai seperempat, seperdelapan, dan seperenam belas bagian. Pergantian dari satu mata uang ke mata uang lainnya juga menjadi perhatian lainnya,

Pendapatan masyarakat di sebuah wilayah juga menarik perhatiannya. Suatu waktu, Al-Muqaddasi mengunjungi Provinsi Yaman. Ia mencatat wilayah Hadramaut memiliki pendapatan sebesar seratus ribu dinar. Al-Yaman serta Al-Bayrayn masing-masing memiliki pendapatan enam ratus ribu dinar dan lima ratus ribu dinar.

Lalu, bagaimana jejak hidup sang geografer? Ada yang menyebut nama lengkap sang ilmuwan adalah Muhammad ibnu Ah - mad Shams al-Din Al-Muqaddasi. Namun, ada pula yang menulis nama lengkapnya Abu Abdullah Mohammed bin Ahmad bin al-Bana Al-Bashari Al-Maqdisi. Nama populernya— Al-Muqad dasi—diambil dari kota kelahirannya, yakni Al-Quds.

Ia terlahir di kota suci ketiga bagi umat Islam itu pada 945 M. Kakeknya bernama Al-Bana, seorang arsitek terkemuka yang bekerja pada Ibnu Tulun. Menurut Al- Muqaddasi, sang ayah dipercaya sebagai arsitek pelabuhan laut Acre. Sang geografer andal ini mendapat berkah untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas setelah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci pada usia 20 tahun.

Sepulang dari Makkah, ia memilih jalan hidupnya untuk mengembangkan studi geografi. Demi mewujudkan impiannya itu, Al-Muqaddasi pun melanglang buana ke berbagai negara dan tempat. Ekspedisi yang dilakukannya itu telah mengantarkannya untuk menyinggahi seluruh negara-negara Islam. Pada 985 M, hasil perjalanannya ke berbagai negara Islam itu dituliskannya secara sistematis.

“Penggambarannya tentang Palestina, khususnya Yerusalem, tanah kelahirannya, merupakan salah satu yang terbaik dalam karyanya,” puji Guy Le Strange (1890 M) mengomentari buah karya Al-Muqaddasi dalam bukunya berjudul, Palestine Under The Muslim. Konon, sang ilmuwan tak cuma menggunakan potensi dirinya saat menulis adikarya. Ia senantiasa memohon pertolongan dan bantuan dari Sang Khalik.

Ada satu hal yang patut ditiru dari sang ilmuwan dalam menjaga ketajaman ingatannya. Al-Muqaddasi tak pernah lalai untuk selalu berinteraksi dengan Allah SWT. Meski begitu, ilmuwan Muslim ini pun tak pernah lepas dari dugaan sebagai seorang agen pemerintahan Dinasti Fatimiyah Mesir. Terlepas dari dugaan itu, Al-Muqaddasi tetaplah seorang geografer Muslim yang mendapat pengakuan dari peradaban Islam dan Barat.


Kota dalam Pandangan Al-Muqaddasi

Apa beda sebuah kota besar dengan kota kecil? Bila pertanyaan itu diajukan kepada Al- Muqaddasi maka jawabannya, “lihatlah masjid dan mimbarnya.” Geografer Muslim kenamaan ini memang mampu membedakan sebuah kota besar ( city) dengan kota kecil ( town) dengan melihat bangunan masjid dan mimbarnya.

Semakin megah bangunannya serta indah mimbar sebuah masjid di sebuah wilayah, menunjukkan posisi daerah itu. Masjid dan mimbar, menurut Al-Muqaddasi, merupakan simbol otoritas Islam. Sebagai geografer yang brilian, ia sangat tertarik dengan kondisi masyarakat Islam perkotaan, evolusinya, keberagaman, hingga kompleksitasnya. Sebuah pencapaian yang belum terpikirkan geografer sebelumnya.

Ia pun mampu menetapkan sebuah daerah layak menjadi ibu kota. Menurut Al-Muqaddasi, jika diibaratkan ibu kota adalah jenderal sedangkan kota-kota kecil adalah pasukannya. Dalam kajian geografi yang dilakukannya, Al-Muqaddasi pun mencoba menyelidiki struktur pertahanan sebuah kota.

Jika datang ke sebuah kota, Al- Muqaddasi akan menyelidiki tembok yang mengelilingi kota itu. Berapa tingginya, seberapa ketebalannya, jarak antartembok, kubu pertahanan, akses di dalam dan di luar, lokasinya menurut topografi umum, hubungannya dengan tempat peristirahatan, serta lainnya menjadi perhatian sang geografer.

Dengan kajian seperti itu, ia mampu menilai kekuatan pertahanan sebuah kota. Hal lainnya yang mengundang perhatian Al-Muqaddasi dari sebuah kota adalah geliat perekonomiannya. Maju tidaknya sebuah kota dapat dilihat Al-Muqaddasi dari perdagangan, pertukaran, serta perekonomian secara keseluruhan yang terjadi di kota itu.

Al-Muqaddasi pun melakukan studi pasar. Bagaimana pasang-surut sebuah pasar. Ia pun sampai-sampai menggali informasi tentang besaran biaya yang dikeluarkan setiap orang untuk kesehatan di sebuah kota. Selain itu, dia juga mengorek data untuk mengetahui sumber pendapatan, baik harian maupun bulananan, serta bagaiamana pendapatan itu disalurkan.

Untuk mendapat informasi yang akurat dari sebuah kota, Al-Muqaddasi pun akan mencari informasi bagaimana kehidupan di sebuah tempat berlangsung. Faktor-faktor yang digalinya adalah sikap masyarakat, kebersihan, serta moralitasnya. Penelitian ini dilakukannya di setiap kota yang dikunjunginya.

Selain itu, Al-Muqaddasi pun selalu mencoba untuk menghubungkan antara topografi dengan perkembangan perkotaan. Pada abad ke-10 M, ia sudah mampu meneropong masa depan Arab Saudi. Menurut dia, lautan yang terdapat di sekitar jazirah itu akan menjadi daya tarik bagi setiap orang untuk mengunjunginya. ‘’Membuka batas antara laut akan mampu meningkatkan perdagangan,’‘ ungkap sang geografer.

Ia juga mampu memprediksi masa depan pertumbuhan perekonomian suatu daerah dari kajian geografi yang detail dan mendalam. Selain itu, Al- Muqaddasi juga melakukan penelitian mengenai dampak iklim dan tempat terhadap bentuk fisik penduduknya. Tempat yang dingin seperti Khwarizmidan Ferghana membuat penduduknya menebalkan jenggot serta badannya lebih gemuk.

Hal lain yang juga dikajinya adalah cara berpakaian, makanan, serta dialek bahasa dari setiap kota yang dikunjunginya. Al-Muqaddasi memang pantas disebut geografer yang jenius. Perdaban modern telah berutang budi terhadap dedikasi dan terobosan serta penemuan metode penelitian yang telah ditemukan sang ilmuwan asal Yerusalem itu.


Sumber : http://republika.co.id/koran/36/12202.html